Ghazwah Mu’tah (Bagian 1)
Telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua macam pasukan perang Rasūlullāh ﷺ yaitu ‘sariyyah’ dan ‘ghazwah’. Sariyyah adalah pasukan yang dikirim oleh Rasūlullāh ﷺ berperang namun Rasūlullāh ﷺ tidak ikut berperang. Ghazwah adalah pasukan perang yang dikirim oleh Rasūlullāh ﷺ dan Rasūlullāh ﷺ ikut berperang di dalamnya.
Nabi tidak selalu ikut serta dalam peperangan, karena hal ini tentu akan memberatkan kaum muslimin. Beliau bersabda :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ فِي يَدِهِ، لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَكِنْ لَا أَجِدُ سَعَةً فَأَحْمِلَهُمْ، وَلَا يَجِدُونَ سَعَةً فَيَتَّبِعُونِي، وَلَا تَطِيبُ أَنْفُسُهُمْ أَنْ يَقْعُدُوا بَعْدِي
“Demi Yang jiwaku Muhammad berada di tanganNya, kalau bukan memberatkan kaum mukminin maka aku tidak akan hanya duduk tidak ikut serta sariyyah (pasukan) yang berperang di jalan Allah, akan tetapi aku tidak mendapati kelapangan (yaitu tunggangan untuk berjihad) untuk memerintahkan mereka (semuanya) untuk berjihad (sehingga mereka harus berjihad dengan berjalan kaki), dan mereka tidak mendapati kelapangan untuk bisa mengikutiku, dan jiwa mereka tidak tenang kalau aku berperang sementara mereka duduk tidak ikut perang” (HR Muslim no 1876, lihat juga syarahnya di Dzakhiirotul Uqba fi Syarh al-Mujtabaa 26/183).
Maksudnya, yaitu jika Nabi selalu ikut pasukan berperang maka para sahabat tentu semuanya mau ikut Nabi berperang, dan mereka merasa tidak enak jika Nabi berperang sementara mereka hanya duduk tidak ikut perang. Jika mereka semuanya mau ikut berperang maka Nabi pun tidak tega dengan mereka, karera tunggangan untuk mengangkut mereka berperang tidaklah cukup, sehingga sebagian mereka harus berjalan kaki, dan ini adalah sesuatu yang sangat berat. Kemudian seandainya mereka seluruhnya bisa mendapatkan tunggangan, maka merekapun tidak mampu seluruhnya untuk selalu berperang karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga mereka. Karena itulah Nabi tidak selalu ikut dalam peperangan.
Pada peristiwa ghazwah Mu’tah, Rasūlullāh ﷺ mengirim pasukan ke Mu’tah namun beliau sendiri tidak turut dalam peperangan tersebut, dan tentunya secara istilah maka seharusnya dinamakan dengan Sariyyah Mut’ah dan bukan Ghozwah Mu’tah. Akan tetapi para ulama tetap menyebutnya dengan ‘ghazwah’ dikarenakan Rasūlullāh ﷺ mengirimkan sejumlah 3000 pasukan kaum muslimin dan terjadi perperangan yang sangat dahsyat. Pada peperangan sebelumnya Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mengirimkan lebih dari 3000 pasukan.
Dalam peperangan ini juga para pembesar-pembesar sahabat tidak ikut serta, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman bin ‘Affaan, Ali bin Abi Tholib, dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrooh radhiallahu ‘anhum. Namun yang ikut serta adalah selain para pembesar, diantaranya seperti Ibnu Umar, Anas bin Malik, Abu Huroiroh, Abu Qotadah, Kholid bin Al-Waliid, ‘Auf bin Malik, Jabir bin Abdillah, Tsaabit bin Aqrom, Abu Musa al-Asy’ari, Waqid bin Abdillah at-Tamimi, ‘Aqiil bin Abi Tholib, Abdullah bin Samuroh (lihat Usdul Ghoobah 4/331 dan al-Ishoobah 3/55 pada biografi ‘Uyainah bin ‘Aisyah al-Murri, sebagaimana dinukil dari kitab Ghozwah Mu’tah wa as-Sarooyaa wa al-Bu’uuts An-Nabawiyah Asy-Symaaliyah hal 267)
Ghazwah Mu’tah adalah peperangan dahsyat yang terjadi didaerah Mu’tah pada tahun 8 H. Mu’tah terletak sejauh 1100 Km disebelah utara kota Madinah. Pada masa sekarang, Mu’tah terletak di daerah timur Yordania. Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Mu’tah terletak sekitar 2 marhalah (yaitu sekitar 80 km) dari baitul maqdis (Masjid al-Aqsho). Ahli sejarah mengatakan ghazwah Mu’tah terjadi jumadal Ula tahun 8 Hijriyah1, dan menurut sebagian pakar yaitu bertepatan dengan bulan agustus, yaitu tatkala musim panas. Ketika itu pasukan kaum muslimin yang berjumlah 3000 pasukan berperang melawan pasukan musuh yang berjumlah 200.000 pasukan. Para sahabat berjalan sejauh 1.100 Km di musim panas untuk berperang melawan musuh yang jumlah dan kekuatannya tidak mereka duga sebelumnya.
Al-Waqidi2 menyebutkan tentang sebab terjadinya perang Mu’tah, yaitu bahwasanya Rasūlullāh ﷺ mengirimkan seorang sahabat yang bernama Al-Haarits bin ‘Umair Al-Azdi untuk mengirimkan surat beliau kepada ‘Azhim Bashra (pemimpin kota Bashra). Rasūlullāh ﷺ ingin mendakwahi ‘Azhim Bashra agar masuk islam melalui surat tersebut. Di tengah perjalanan, Al-Harits bin Umair Al-Azdi dihadang oleh Syurahbiil bin ‘Amr al-Ghassaani yang berasal dari kabilah Ghassaan. Syurohbiil adalah salah seorang amiir (gubernur) yang ditugaskan oleh Heroclius untuk memimpin salah satu daerah di Syaam (yaitu kota Balqoo’). Al-Haarits bin ‘Umair Al-Azdi kemudian diikat dan dibunuh oleh Syurahbiil. Rasūlullāh ﷺ pun marah dengan perbuatan Syurahbiil yang membunuh utusan beliau, dimana seharusnya utusan negara tidak boleh dibunuh berdasarkan kesepakatan antar negara3.
Rasūlullāh ﷺ kemudian menyiapkan pasukan untuk menyerang kabilah Ghasan di sebelah utara kota Madinah dan kabilah-kabilah lainnya seperti kabilah Lakhm. Kabilah-kabilah tersebut beragama nashrani dan loyal kepada Heroclius, raja Romawi. Lokasi kabilah-kabilah tersebut berada di dekat Syam, tempatnya orang-orang Romawi. Oleh karena itu, kabilah-kabilah tersebut pada hakekatnya adalah anak buah dari Heraclius. Rasūlullāh ﷺ mengirimkan 3.000 pasukan kaum muslimin, tidak seperti biasanya dikarenakan beliau khawatir kabilah-kabilah tersebut akan meminta bantuan kepada Romawi, sebuah negara kuat dengan jumlah pasukan jutaan orang.
Pasukan ghazwah Mu’tah memiliki keistimewan-keistimewaan, diantaranya adalah ini pertama kalinya Rasūlullāh ﷺ mengirim 3.000 pasukan untuk berperang. Dan ini adalah jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirim oleh Nabi. Dan ini juga pertama kalinya Rasūlullāh ﷺ berstrategi dengan menunjuk 3 orang pimpinan perang sekaligus, karena sangat diduga bahwa kaum muslimin akan menghadapi jumlah pasukan yang sangat banyak, dan kemungkinan besar terjadi gugurnya para panglima perang.
Ibnu Umar berkata :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَمَّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ مُؤْتَةَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ، وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ فَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ»
“Dalam perang Mu’tah Rasulullah ﷺ menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima/pemimpin perang, beliau berkata, “Jika Zaid terbunuh maka Ja’far (bin Abi Tholib) yang menjadi panglimanya, dan jika Ja’far terbunuh maka Abdullah bin Rowaahah yang menjadi panglima”. (HR Al-Bukhari no 4261)
Dalam hadits yang lain Abu Qotadah al-Anshoori radhiallahu ‘anhu berkata :
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشَ الْأُمَرَاءِ فَقَالَ: ” عَلَيْكُمْ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ زَيْدٌ، فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَإِنْ أُصِيبَ جَعْفَرٌ، فعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ الْأَنْصَارِيُّ “. فَوَثَبَ جَعْفَرٌ فَقَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللهِ مَا كُنْتُ أَرْهَبُ أَنْ تَسْتَعْمِلَ عَلَيَّ زَيْدًا. قَالَ: ” امْضِهْ؛ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Rasulullahﷺ mengirim pasukan al-Umaroo’ (yaitu pasukan yang telah ditetapkan tiga panglimanya), maka beliau berkata, “Hendaknya kalian dibawah komando Zaid bin Haaritsah, dan jika Zaid meninggal maka Ja’far bin Abi Tholib yang menjadi penglima, dan jika Zaid meninggal maka Abdullah bin Rawaahah al-Anshooriy yang menjadi panglima” Maka Ja’far pun datang dengan segera dan berkata, “Wahai Rasulullah yang aku khawatirkan adalah Anda menjadikan Zaid menjadi pemimpinku”. Nabi berkata, “Lanjutkanlah, sesungguhnya engkau tidak tahu mana yang terbaik” (HR Ahmad no 22551 dan 22566 dan dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad)
Pada peperangan sebelum-sebelumnya Rasūlullāh ﷺ hanya menunjuk 1 orang pimpinan perang.
Zaid bin Haritsah Radhiyallahuta’ala ‘anhu adalah seorang yang berpengalaman dalam memimpin peperangan. Dia pernah memimpin 5 sariyyah berturut-turut. Salah satu sariyyah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah adalah serangan ke arah utara kota Madinah sehingga Zaid bin Haritsah memiliki pengetahuan mengenai daerah-daerah sebelah utara kota Madinah. Zaid bin Haritsah adalah seseorang yang sangat dicintai oleh Rasūlullāh ﷺ.
Bahkan Aisyah pernah berkata :
مَا بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ فِي جَيْشٍ قَطُّ إِلَّا أَمَّرَهُ عَلَيْهِمْ وَلَوْ بَقِيَ بَعْدَهُ اسْتَخْلَفَهُ
“Tidaklah Rasulullahﷺ mengutus Zaid bin Haritsah dalam suatu pasukan perang kecuali Nabi mengangkatnya sebagai panglima pasukan tersebut. Seandainya Zaid masih hidup setelah Nabi maka Nabi akan mengangkatnya sebagai kholifah” (HR Ahmad no 25898 dengan sanad yang hasan)
Zaid bin Haaritsah bin Syurohbiil al-Kalbi adalah budak yang dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan kepada ‘ammah (tantenya) yaitu Khadijah Radhiyallahuta’ala ‘anha -istri Nabi-. Lalu Nabi meminta kepada Khodijah untuk menghadiahkan Zaid kepada beliau. Para sahabat mengetahui Zaid bin Haritsah adalah seorang budak namun Rasūlullāh ﷺ mengangkat derajatnya. Rasūlullāh ﷺ pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkat beliau sehingga Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Allah kemudian menghapuskan hukum anak angkat di dalam Islam dan menegur Rasūlullāh ﷺ sehingga Zaid tidak lagi menjadi anak angkat beliau. Tatkala ayah Zaid dan pamannya datang ke Mekah dan mengetahui keberadaan Zaid maka mereka berdua meminta kepada Nabi untuk membayar Nabi sebagai tebusan untuk menebus Zaid. Maka menyerahkan kepada Zaid untuk memilih, apakah kembali kepada orang tuanya atau tetap bersama Nabi. Maka Zaidpun tetap untuk bersabda Nabi. (Lihat Fathul Baari 7/87). Zaid adalah seorang yang sangat mulia, dan cukuplah kemuliaan beliau dimana Allah menyebut namanya dalam al-Qur’an yang akan terus dibaca hingga hari kiamat.
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi (Qs. Al-Ahzaab : 37)
Hal ini perlu kita tekankan karena ini menunjukan bahwa Nabi tetap menjadikan Zaid bin Haritsah yang bukan Ahlul bait menjadi penglima padahal dalam pasukan tersebut ada soerang Ahlul Bait yang sangat mulia yaitu Ja’far bin Abi Tholib. Apalagi sebagian perawi syi’ah berusaha untuk menjatuhkan kemuliaan Zaid bin Haritsah.
Dan sepertinya ada sebagian sahabat yang mencela kepemimpinan Zaid bin Haritsah. Dan Nabi menjelaskan bahwa Zaid adalah orang yang dicintai oleh beliau. Ibnu Umar berkata :
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْثًا، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْ تَطْعُنُوا فِي إِمَارَتِهِ، فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعُنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ، وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ، وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ»
Nabiﷺ mengirim pasukan perang, dan Nabi mengangkat Usamah bin Zaid (bin Haritsah) sebagai panglimanya. Maka sebagian orang mencela kepemimpinan Usamah, maka Nabiﷺ bersabda, “Kalian mencela kepemimpinan Usamah, dan sebelumnya kalian telah mencela kepemimpinan ayahnya (Zaid bin Haritsah, yaitu tatkala perang Mu’tah). Demi Allah sesungguhnya ia sangat layak untuk menjadi pemimpin, dan sesungguhnya ia (Zaid) termasuk orang yang sangat aku cintai. Dan sesungguhnya ini (yaitu Usamah bin Zaid) termasuk orang yang sangat saya cintai” (HR Al-Bukhari no 3730, lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 7/87)
Dan tatkala Ja’far bin Abi Tholib menjadi anak buah Zaid bin Haritsah maka bukan berarti Ja’far tidak mulia, karena kemuliaan Ja’far telah masyhur dalam dalil-dalil. Diantaranya sabda Nabi kepada beliau :
أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي
“Engkau menyerupaiku dari sisi tubuh dan akhlak (perangai)” (HR Al-Bukhari no 2699).
Yang ini tentu menunjukan begitu mulianya akhlak Ja’far bin Abi Tholib.
Ja’far adalah termasuk orang-orang yang pertama kali masuk Islam, bahkan beliau adalah salah seorang yang melakukan dua hijroh (ke Habasyah dan ke Madinah), bahkan tatakala di Habasyah beliaulah perwakilan kaum muslimin untuk berbicara dengan Raja Najasyi untuk menjelaskan tentang Islam kepada beliau (lihat Musnad Ahmad no 1740) -yang akhirnya Najasyi pun masuk Islam di kemudian hari-. Tatkala Ja’far pulang dari Habasyah dan menuju ke kota Madinah setelah Nabi menaklukan kota Khoibar maka Nabipun begitu gembira hingga mencium kening beliau dan memeluk beliau lalu Nabi berkata :
مَا أَدْرِي بِأَيِّهِمَا أَنَا أَسَرُّ، بِفَتْحِ خَيْبَرَ، أَوْ بِقُدُومِ جَعْفَرٍ
“Aku tidak tahu mana yang lebih aku bergembira, apakah dengan tertaklukannya kota Khoibar ataukah dengan kedatangan Ja’far” (HR At-Thabrani di al-Mu’jam al-Kabiir no 1470, lihat Fathul Baari 11/52, namun haditsnya mursal)
Diantara keistimewan ghazwah Mu’tah berikutnya, adalah ikut sertanya Khalid bin Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu dalam peperangan. Khalid bin Walid masuk islam pada bulan Shafar tahun ke-8 H. Ia masuk islam di bulan yang sama dengan tokoh-tokoh kaum musyrikin yaitu ‘Amru bin Ash Radhiyallahuta’ala ‘anhu dan Utsman bin Thalhah Radhiyallahuta’ ala ‘anhu dari Bani Daar yang memegang kunci Ka’bah. Ketiga orang ini adalah orang-orang hebat dari suku Quraisy, sehingga Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Inilah kota mekkah telah melemparkan kepada kita orang-orang hebat kota Mekah.”
Khalid Ibnu Walid adalah anak seorang pembesar kota Mekkah yang bernama Al Walid bin Mughirah. Kemampuan bertempur Khalid bin Walid Radhiyallahuta’ala ‘anhu telah diketahui oleh lawan dan kawan. Ia beberapa kali memimpin pasukan berkuda untuk menghadang Rasūlullāh ﷺ. Ia adalah panglima perang yang ahli dalam strategi perang dan menjadi penyebab kekalahan kaum muslimin ketika perang Uhud. Ketika kaum musyrikin sudah mengalami kekalahan dalam perang Uhud, Khalid bin Walid dan pasukannya kembali menyerang kaum muslimin dari atas bukit jabal Rahmah. Hal ini membuat kaum muslimin diserang dari dua arah dan banyak pasukan kaum muslimin yang meninggal pada saat perang Uhud tersebut. Allāh Subhānahu wa Ta’āla kemudian menggerakkan hati Khalid bin Walid untuk memeluk Islam. Ketika Ghazwah Mu’tah, Khalid bin Walid baru masuk Islam kurang lebih selama 3 bulan lamanya. Oleh karena itu Rasūlullāh ﷺ tidak mengangkatnya menjadi pemimpin perang. Rasūlullāh ﷺ menghargai perasaan para sahabat yang telah banyak berjuang untuk Islam dan juga memiliki banyak pengalaman dalam berperang. Dan ini menunjukan sikap bijak Nabi, padahal Nabi tahu bahwasanya Kholid adalah seorang panglima yang sangat piawai dalam memimpin perang, dan hal ini juga diketahui oleh para sahabat. Akan tetapi tentu kurang layak jika seseorang yang baru masuk Islam, apalagi masih muda, kemudian dijadikan panglima dalam peperangan. Karenanya Nabi hanya menunjuk 3 orang panglima, dan yang keempat tidak Nabi tunjuk, seakan-akan Nabi berfirasat bahwa panglima ke 4 akan ditunjuk dan diserahkan kepada Kholid bin al-Walid secara aklamasi oleh para sahabat.
Ghazwah Mu’tah adalah peperangan yang sangat berbahaya karena jumlah musuh yang sangat banyak. Selain itu, jarak yang harus ditempuh sangat jauh dengan kondisi cuaca sangat panas dan juga adanya kekhawatiran bahwa pasukan Romawi akan membantu kabilah-kabilah tersebut.
‘Urwah bin Az-Zubair menuturkan bahwa tatkala pasukan akan berangkat tiba-tiba Abdullah bin Rowaahah menangis. Maka dikatakan kepada beliau, “Apakah yang membuatmu menangis wahai Ibnu Rawaahah?”. Maka beliau berkata :
أما واللهِ ما بي حبُّ الدنيا وصبابةٌ، ولكني سمعتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقرأُ آيةً من كتابِ الله يذكرُ فيها النارَ: {وَإِنْ مِنْكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا } ، فلستُ أدري كيف بالصَّدَرِ بعدَ الوُرودِ؟! فقال لهم المسلمون: صَحِبَكم الله ودفع عنكم، فردّكم إلينا صالحين،
“Ketahuilah, demi Allah, saya menangis bukan karena saya cinta kepada dunia dan bukan lantaran akan berpisah dengan kalian, akan tetapi saya menangis lantaran mendengar Rasūlullāh ﷺ membaca sebuah ayat dari kitabullah yang menyebutkan tentang neraka :
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan” (Qs. Maryam : 71)
Dan aku tidak mengetahui bagaimana aku bisa selamat setelah melewati neraka?”
Lalu kaum muslimin berkata kepada beliau, “Semoga Allah menemani kalian, membela kalian, sehingga mengembalikan kalian kepada kami dalam kondisi baik”
Maka Abdullah bin Rawaah berkata :
لَكِنَّنِي أَسْأَلُ الرَّحْمَنَ مَغْفِرَةً … وَضَرْبَةً ذَاتَ فَرْغٍ تَقْذِفُ الزَّبَدَا
أَوْ طَعْنَةً بِيَدَيْ حرَّانَ مُجْهِزَةً … بِحَرْبَةٍ تَنْفُذُ الأَحْشَاءَ وَالكَبِدَا
حَتَّى يَقُولُوا إِذَا مَرُّوا عَلَى جَدَثِي … أَرْشَدَهُ اللهُ مِنْ غَازٍ وَقَدْ رَشُدَا
“Akan tetapi aku memohon kepada Allah maghfiroh (ampunan)….dan sebuah tikaman keras yang mengenaiku sehingga memuncratkan busa darahku…
Atau tikaman dihadapan seorang yang sangat haus untuk membunuh yang membunuh dengan cepat ….yang menikamku dengan tombaknya sehingga menembus ususku dan hatiku…
Sehingga takala mereka melewati kuburanku, mereka akan berkata….Allah telah memberi petunjuk kepadanya sang pejuang, dan sungguh ia telah mendapat petunjuk…”
(Kisah ini dituturkan oleh Urwah bin Az-Zubair sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabiir 14/377 no 15011, dan para perawi sanadnya -sebagaimana dinyatakan oleh Al-Haitsami- semuanya tsiqoh hingga Urwah bin Az-Zubair (Lihat Majma’ Az-Zawaid 6/157-159). Namun sebagaimaan kita ketahui bahwa Urawah bin Az-Zubair tidaklah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga riwayat kisah ini adalah mursal)
Abdullah bin Rawahah merenungi firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla tersebut sehingga ia menangis. Ia bertanya-tanya apakah setelah melewati jahanam ia dapat keluar atau tidak. Para ulama menafsirkan yang dimaksud illa wariduha ‘mendatangi neraka itu’ maksudnya melewati shiroth (titian).
Meskipun Abdullah bin Rawahah sangat banyak jasanya terhadap Islam namun ia tidak pernah sombong dengan amalannya. Abdullah bin Rawahah ikut dalam Perjanjian ‘Aqobah. Ia juga datang ketika Rasūlullāh ﷺ di Mina. Setiap peperangan selalu diikuti olehnya. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Ahzab, dan beberpa sariyyah diikuti oleh Abdullah bin Rawahah. Dia juga ikut dalam perjanjian Hudaibiyah dan ia termasuk orang-orang yang membaiat nabi di bawah pohon ridwan, yang mana beliau membaiat untuk membela islam sampai mati. Meskipun begitu banyak amalan yang dia lakukan, dia tidak pernah yakin untuk masuk surga.
FOOTNOTE:
1. Dan para ulama taarikh (seperti Ibnu Ishaaq, Musa bin ‘Uqbah, dan yang lainnya) sepakat akan tarikh (tanggal) tersebut, hanya saja Kholifah bin Khoyyat dalam taarikh-nya menyebutkan bahwa Perang Mu’tah terjadi pada tahun 7 Hijriyah (Lihat Fathul Baari 7/511)
2. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwasanya al-Waqidi disisi para kritisi hadits adalah seorang yang matruk (lemah) sehingga riwayat yang menjelaskan sebab terjadinya perang Mu’tah ini secara sanad adalah riwayat yang sangat lemah. Namun demikianlah para ulama tetap menukil sebab yang disebutkan oleh Al-Waqidi ini sebegai pelengkap cerita shirah Nabi selama tidak riwayat tersebut secara matannya tidak bermasalah. Karenanya sebab ini juga disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 7/511)
3. Abdullah bin Mas’ud berkata :
جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ رَسُولَا مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُمَا: ” أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ “، قَالَا: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” آمنْتُ بِاللهِ وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا ” قَالَ عَبْدُ اللهِ: ” قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ
Telah datang Ibnu An-Nawwaahah dan Ibnu Utsaal, yang mereka berdua adalah utusan/delegasi dari Musailimah yang diutus kepada Nabiﷺ. Maka Nabi berkata kepada mereka berdua, “Apakah kalian berdua bersaksi bahawasanya aku adalah utusan Allah?”. Mereka berdua berkata, “Kami bersaksi bahwa Musailimah adalah utusan Allah”. Maka Nabi berkata, “Aku beriman kepada Allah dan RasulNya, kalua aku adalah seorang yang membunuh delegasi maka aku akan akan membunuh kalian berdua, namun telah berlaku aturan bahwasanya para delegasi tidaklah dibunuh” (HR Ahmad no 3761, dan sanadnya dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad)
Hadits ini ada syahidnya dari sahabat Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i, beliau berkata :
سمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: حِينَ قَرَأَ كِتَابَ مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ، قَالَ لِلرَّسُولَيْنِ: فَمَا تَقُولَانِ أَنْتُمَا؟ قَالَا: نَقُولُ: كَمَا قَالَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَاللهِ لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمَا
“Aku mendengar Rasulullah berkata -tatkala beliau membaca surat dari Musailimah al-Kadzdzaab-, yaitu Nabi berkata kepada dua delegasi Musailimah, “Apa yang kalian berdua katakana?”. Mereka berdua berkata, “Kami katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Musailimah”. Maka Rasulullah berkata, “Kalau bukan para delegasi tidak boleh dibunuh, tentu aku akan memenggal leher kalian berdua” (HR Ahmad no 15989 dan Abu Dawud no 2761 dan dishahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauuth)